Menggagas Renaisans Indonesia

menggagas renaisans indonesia

Jaman kuliah dulu, saya suka sekali membaca kolom Resonansi. Setiap Hari Jum’at tidak boleh lewat. Setiap datang Koran Republika, halaman itu yang pertama dibaca. Penulisnya Zaim Uchrowi. Mantan Pemimpin Redaksi harian itu.

Tulisan-tulisan di sana tidak pernah panjang. Kalau dihitung, tidak ada yang lebih dari 1000 kata. Saya sempat mengoleksinya. Hingga akhir tahun 2012, saat Republika memutuskan untuk tidak lagi menampilkan tulisan dari alumni IPB itu.

Daya tarik Resonansi terletak pada nuansanya. Zaim Uchrowi mencoba merekam kejadian dalam sepekan. Lalu menuangkannya dalam 500-700 kata saja. Ia menyajikan tulisan keseharian dengan nuansa yang penuh kehangatan.

Sasaran tulisan itu supaya pembaca “Ikut bergetar”, seperti makna Resonansi sendiri.

Pekerjaan yang sungguh sulit. Coba bayangkan, akang buat tulisan yang tidak lebih dari dua halaman A4. Tentang kejadian kehesarian, yang membuat pembaca ikut merenungkan. Atau bahkan tercerahkan, seperti kata DR Hidayat Nur Wahid pada kata pengantarnya.

Menggagas Renaisans Indonesia adalah buku kumpulan Resonansi-resonansi itu. Sejak tahun 1994 hingga 2004. Mengumpulkan tulisan lepas menjadi satu buku juga sulit, “perlu ada benang merah yang kuat”, seperti kata Zaim Uchrowi dalam pengantarnya.

zaim uchrowi
gambaran Zaim Uchrowi pada kolom resonansi

Beruntung penulis menemukan benang merah di antara 500 tulisannya. Benang merah itu ada pada ketertarikan penulis tentang kebangkitan bangsa. Yang kemudian ia rajut dalam 9 bab yang diawali dengan potret realitas bangsa hingga menata masa depan pada ujungnya.

Saya sendiri baru menemukan buku itu lagi. Setelah membelinya pada tahun 2011 yang lalu. Dan mencoba membacanya kembali. Awalnya sekadar nostalgia. Lama-lama hanyut juga.

Zaim Uchrowi memang piawai sekali membuat tulisan Feature Profile. Tulisannya tentang “Haryanto Masih Koma…” Misalnya. Terngiang-ngiang di kepala saya. Jangan sampai kejadian itu menimpa keluarga Indonesia lagi.

Buku Menggagas Renaisans Indonesia rasanya tepat, untuk dinikmati kembali pada tahun politik begini. Baca saja “endorse” cover belakang buku itu:

Tinggalkan Balasan