Ngebet Kamera Analog

kamera analog smartphone

Kamera DSLR saya rusak. Canon EOS 60D itu hanya mampu merekam video selama 3 detik. Lebih dari itu ia berhenti, mati, lalu muncul peringatan: “Movie Recording Has Stopped Automatically”.

Penyebabnya bukan dari SD Card. Seperti yang banyak di ceritakan orang-orang. Sumber masalahnya ada di-audio input. Atau mic input.

Bila sebelum merekam, audio saya atur “Disable”, maka kamera yang saya beli bekas itu akan merekam seperti biasa. Normal tanpa kendala.

Saya tidak tahu apa yang rusak. Dan saya tidak sedang ingin cari tahu berapa biaya untuk memperbaikinya. Kalau ke service resmi pastilah mahal. Ongkos bongkarnya saja bisa setengah juta. Belum kalau ada part yang diganti.

Saya juga tidak bertanya-tanya ke service di pasar baru. Biasanya mengecek DSLR ongkosnya Rp300 ribu. Dua-duanya keluar biaya. Keluar uang lagi dari dompet.

Lalu saya putuskan: jual saja. Apa adanya. Di luar sana pasti ada yang akan meminangnya. Seseorang yang tidak butuh-butuh amat dengan fitur mic input pada kameranya.

Lalu uang hasil jual tadi saya beli kamera lagi. Tapi yang mana?

Saya tidak sreg dengan bodi kamera DSLR Canon 4 digit (1100D, 1200D, 1300D, 1500D). Saya bisa menerima Canon 3 Digit (550D, 600D, 750D, atau yang paling baru 800D).

Maunya sih tetap 2 Digit, 60D lagi atau sekalian 80D. Skip 70D karena masalah ini.

Cuma … kondisi keuangan negara sedang tidak memungkinkan, kang!

Kamera Analog

Kemudian, saya banyak melihat-lihat kamera Analog. Kamera jadul yang masih menggunakan film 35mm untuk menangkap cahaya.

Harganya bikin ngiler. Ada yang cuma Rp170 ribu. Disposable kamera, atau kamera sekali pakai sebutannya. Atau: Kamera Chiki.

Tapi, yang saya inginkan justru yang Ganteng. Alias bisa kontrol manual. Yang lensanya memiliki nilai f minimal 2.8.

Sayang, harganya bikin ciut nyali. Rp1-3 jutaan. Tergantung kondisi.

Belum lagi, saya harus memasukan biaya untuk beli film dan cuci scan cetak-nya.

Uugghhh

Namun di situ juga letak kenikmatannya. Katanya.

Limitasi justru membebaskan. Katanya.

Satu roll film isinya 36, harganya minimal Rp60 ribu. Biaya cetak Rp60 ribu juga. Jadi, sebelum jepret kudu ati-ati. Katanya.

Belum deg-degannya. Foto ini jadi apa enggak. Karena setelah jepret, hasilnya tidak bisa dilihat. Dan untuk melihatnya harus menunggu. Sebelum menunggu harus mendatangi tempat cuci scan. Atau mengirim ke lab yang mampu mengerjakan.

Bisa sehari, bisa seminggu, mungkin bisa lebih.

Nyonya ceria, tidak hepi jadinya. Repot. Buat apa. pakai hape aja. Bisa langsung dicek, bisa di edit, dan bisa langsung dinikmati. Katanya.

Kamera Smartphone

Pertimbangan Nyonya Ceria sepenuhnya benar. Hobi memang jarang sejalan dengan logika. Yang satu maunya kepuasan, yang satu maunya efisiensi.

Lalu saya mulai melirik Asus Zenfone 3, smartphone yang telah menemani saya 6 bulan terakhir. Kamera yang ia miliki adalah salah satu alasan saya membeli-nya.

Dipikir-pikir memang kamera hape itu canggih sekali. Bisa kontrol manual, ada histogram, bahkan bisa menghasilkan file RAW.

Untuk merekam video ia juga bisa dibilang mumpuni. Mode rekamnya mulai dari 640 x 480 (TV) hingga 3840 x 2160 (4K). Bahkan Perekaman di Mode Full HD (1920 x 1080) bisa diatur hingga 60 fps. Itu artinya, bila saya menginginkan rekaman Slow Motion, sangat bisa.

Fitur-fitur perekaman itu tidak dimiliki oleh kamera analog. Bahkan oleh kamera digital seperti Canon EOS 60D. Tidak ada 4K, tidak ada 60 fps di mode Full HD.

Jadi … saya memutuskan untuk mulai menggunakannya secara ekslusif saat bepergian.

Hasil jepretan kemudian saya sunting (dengan adobe lightroom mobile) hingga menyerupai film 35mm. Entah tipe yang mana. Entah mirip apa nggak. Entah bagus apa memang palsu.

film look

pengalaman naik kereta keluarga

foto di dalam kereta commuter line

foto jadul

hasil kamera selfie asus zenfone 3

Tolong jangan di bully akang-akang sekalian. Ini namanya mencoba menghibur diri dengan yang ada. Siapa tahu nanti betul-betul kesampaian punya kamera analog. 🙂

 

Tinggalkan Balasan