Di sunat itu sakit. Karena biusnya dengan suntik. Membayangkan jarum menusuk kemaluan saja sudah ngilu, apalagi menjalaninya sendiri. Jika ada metode bius sunat tanpa suntikan, tentu patut dicoba.
Errmm, atau patut dicurigai …
Kira-kira dua pekan yang lalu Aa, anak pertama saya menjalani proses sunat tanpa suntik itu. Di Rumah Sunat dr. Mahdian Margonda. Alasan kami memilih tempat sunat itu bukan karena iming-iming tanpa suntik sebenarnya. Tapi lebih ke jarak yang dekat dengan rumah.
Alasan berikutnya adalah metode baru yang begitu menjanjikan: Klem. Sehari setelah sunat bisa main sepeda atau main bola!
Saya belum pernah mendengarnya. Dulu begitu santer sunat dengan laser. Lebih dulu lagi dengan bengkong, yang menggunakan sembilu. Saya sendiri disunat saat libur kenaikan ke kelas empat SD. Atas permintaan sendiri tentu. Metodenya suntik. Dua kali. Atas bawah. Para akang silakan bernostalgia. Para eceu … silakan berimajinasi.
Rumah sunat itu letaknya di Jalan Margonda Depok. Sejajar dan dekat dengan kantor Walikota Depok. Sebelum bila berjalan dari arah Tole Iskandar. Di bawah jembatan penyeberangan orang.
Tempat itu mudah terlihat dari luar. Dalamnya luas, ada dua lantai. Lantai bawah untuk registrasi, ruang tunggu dan kantor. Ruang atas untuk tindakan. Ada 4-5 ruang kalau tidak salah.
Tempat itu nyaman, paling tidak anak saya betah menunggu. Karena di sediakan tempat bermain. Ada kuda-kudaan, perosotan, lego, dan televisi tentunya.
Di sini bisa daftar via telepon ataupun datang langsung. Saya sendiri langsung datang Sabtu, Ahad besoknya dijadwalkan untuk di sunat.
Biaya sunatnya Rp 1.750.000. Ada beberapa tambahan yang ditawarkan, seperti: celana sunat (celana dalam yang ada batoknya), foto keluarga, obat, dan peralatan perawatan. Bila mengambil paket, biayanya menjadi Rp 2.350.000.
Bagian pendaftaran menjelaskan metode klem tadi. Sambil menunjukkan klem yang dimaksud. Tidak mengambil paket yang ditawarkan tidak mengapa, katanya. Asalkan bisa merawat nanti. Dan itu menjadi kunci. Karena setelah sunat, klem akan terpasang hingga 5 hari ke depan.
Meski dibilang bisa langsung pakai celana, saya tetap kekeh, membelikan sarung anak baru. Karena memang begitu seharusnya sunat: Pakai sarung, kalau perlu sekalian batok kelapa!
Saat-saat eksekusi
Entah apa yang ada di benak Aa. Ia cuek saja diajak sunat. Santai, tenang, hingga akhirnya dipanggil ke atas. Di ruang tindakan apalagi, tambah senang saja ia. Karena ternyata disediakan ipad. Langsung saja ia sambar alat pengalih perhatian itu sambil gogolehe.
Kemudian dua orang datang. Dokter dan asistennya. Dokter itu tidak tampak seperti dokter. Tidak pakai seragam putih khas dokter. Ia malah lebih mirip pegiat sosial dengan rompinya. Ia juga terlihat masih muda dan ramah terhadap anak.
Bagian ramah itu menjadi sangat penting. Saya masih penasaran, benarkah iklan yang menyatakan obat bius dimasukkan bukan dengan suntik. Bila tidak dengan apa? Semprot seperti pemain bola yang kesakitan? Atau?
Kalau tidak salah baca, saya melihat pada penjelasan metode klem, “obat bius dimasukkan lewat semprot, sehingga tidak menyakitkan pasien”. Nah ini dia biusnya! Saya pikir begitu, saat dokter menyemprot cairan berwarna oranye ke “pepeng” anak saya.
Ternyata bukan. Setelah ia memeriksa kondisi kemaluan anak saya, dan menyatakan bagus dan bersih ia membawa alat bius sebenarnya: pistol.
Saya deg-degan dibuatnya. Tiba-tiba grogi. Kemudian ia ajak mengobrol Aa, “pernah tiup balon? Coba tiup”, ajaknya. Aa cuek tapi curiga. Tampak dari raut wajah polosnya, “mau apa nih!?” Sekarang hitung 1 sampai 3. Kalau sudah hitungan ke tiga teriak ya, yang keras … AAAAAA!!!
Si Aa diam saja. Masih cuek tapi kewaspadaannya bertambah. Apalagi setelah dokter tadi menyentil selangkangannya. “Nanti seperti ini ya, Jagoan. Empat kali aja.”
Di sini saya merasa tertipu. Pistol itu pasti sakit. Pernah cek darah? Ada alat yang seperti silet, ada juga yang seperti staples. Prinsip pistol tadi seperti alat staples itu. Saya saja masih merasa sakit bila cek darah menggunakan alat itu. Padahal jari memiliki lapisan yang relatif tebal.
Apalagi menusuk kemaluan? Empat kali pula? Wadaw …
Itulah yang terjadi … “1,2,3 .. CTARRR!” Seketika itu pula anak saya berteriak, menangis, meraung sekencang-kencangnya. Tangannya gemetaran. Tablet yang digenggamnya ikut bergetar. Saya takut ipad itu lepas lalu menimpa wajahnya.
Ini baru satu kali. Tembakan kedua, ketiga dan keempat juga sama. Tidak tega saya menyaksikannya. Tapi saya harus kuat, bukan? Beruntung mamahnya dan si kecil tidak melihat.
Setelah itu proses “penyiksaan” selesai, mereka keluar. Meninggalkan aa yang meringis. Tapi ipad masih digenggam erat. Proses membuat eskrim-nya terganggu. Saya mengajaknya untuk melanjutkan permainan tadi. Dokter dan asisten itu keluar, sambil berpesan, “ditunggu ya pak, biar obat biusnya bekerja dulu”.
Saat pemotongan dan pemasangan
Bagian ini tidak seru. Meski berhasil membuat saya mual. Dokter melakukan pemotongan dan pemasangan klem tanpa kesulitan. Setelah memastikan obat bius bekerja, ia melanjutkan tindakannya.
Dibuka-buka kulupnya. Dibersihkan dengan minyak. Diukur diameternya. Lalu klem dipasang. Barulah setelah itu kulup dipotong, dengan pisau bedah. Bagian ini ternyata memilukan.
Selama proses itu Aa tidak bereaksi. Hanya sesekali melihat. Kembali asyik membuat eskrim yang kali ini ia tujukan untuk mamahnya yang baru datang. Tanda obat bius tembak itu bekerja sempurna.
Pasca Sunatan
Ada dua garis besar perawatan setelah sunat dengan klem: Saat klem terpasang, dan saat klem dilepas. Keduanya membutuhkan perhatian dan kesabaran ekstra dari orang tua. Pengalaman saya hari pertama setelah sunat, anak masih meringis perih. Tapi hari esoknya sudah tidak lagi.
Saya tidak hafal obatnya, tapi prediksi saya ada obat anti nyeri. Ini juga dua macam, ada yang diminum, ada yang dimasukkan lewat anus. Tapi yang terakhir tadi dimasukkan bila anak merasa nyeri betul.
Bagaimana bila anak ingin pipis? Pipis saja biasa. Tapi setelah itu harus dicuci. Dengan cairan steril (NaCl) yang diberikan, disemprotkan pada sisi dalam klem. Lalu bagaimana dengan mandi?
Mandi saja. Tapi hati-hati, Mamahnya Aa biasa menutup area kemaluan dengan mangkuk. Yang tidak boleh kena air sama sekali adalah setelah klem dilepas. Selama 2 hari.
Lepas Klem
Sebelum klem dilepas, pasien diminta untuk berendam di air hangat selama 1 jam. Perkara yang mudah, karena bocah memang senang sekali berendam. Yang sulit bila tidak ada tempatnya, bukan?
Selain itu, disarankan juga memasukkan obat anti nyeri lewat anus.
Proses pelepasan klem ini ternyata menjadi masalah tersendiri, Aa trauma. Tidak ingin naik ke ruang tindakan. Awalnya dia berani, tapi karena ada 1 anak yang merengek-rengek dia ikut terbawa suasana.
Sulit sekali merayunya. Rupanya serangan “pistol” 5 hari yang lalu menancap betul di ingatannya.
Ini yang menjadi kekurangan metode klem: trauma. Mungkin tidak terjadi bila anak sudah “kuat” secara mental. Teman saya yang menyunatkan anaknya saat SMP tidak merasa kesakitan. Dan tidak sampai menangis.
Teman saya yang lain, yang menyunatkan anaknya saat umur 3 tahun, sakitnya hingga 3 hari. Karena ternyata kulupnya masih lengket. Saat proses pemotongan terjadi luka di situ. Bagian kulit dalam ikut terkelupas.
Duh, ngilu saya ketika melihat gambarnya.
Catatan lainnya
Malam hari setelah lepas klem Aa memakai celana, tanpa celana batok ataupun celana dalam. Di sana kesalahannya. Pagi harinya bagian bawah pepeng itu berdarah. Terluka lebar. Kami mengobati seperti biasa saja, kompres dengan betadine (kasa diberi betadine, lalu kompreskan selama kurang lebih 1 menit).
Setelah 3 hari bagian itu masih saja basah dan bernanah. Tapi bagian lainnya sudah mengering dan ada yang mengelupas. Gambarannya seperti keringnya luka.
Untungnya setelah seminggu bagian itu kempes dan mengering juga. Mestinya bisa lebih cepat.
Singkatnya …
Sunat tanpa suntik masih menyisakan sakit. Namun kelebihan metode klem yang diakui oleh neneknya Aa: rapi, bersih, dan relatif aman. Tidak seperti waktu ia menyunatkan anaknya di sunatan massal, yang darahnya ke mana-mana.
Semua proses dari awal sunat hingga anak kembali normal memakan waktu 10 harian. Aa melewatinya saat liburan sekolah kemarin.
Alhamdulillah, saya dan mamahnya bisa ikut melalui salah satu momen terpenting dalam hidupnya.