Terima Kasih … Angkot

angkot depok
suasana stasiun depok baru saat hujan deras melanda (2017)

Angkot biru jurusan Depok-Timur Dalam berhenti. Di perempatan tempat orang-orang menunggu. Beberapa orang naik. Yang menarik adalah seorang anak SMA. Ia duduk di depan, di samping Pak Sopir. Setelah menyapa ramah, ia mengambil buku dari dalam tasnya. Lalu mulai membaca.

Pak Sopir tidak tahan. Ia ingin menegur.

___

Saya masuk ke dalam angkot, yang entah sudah berapa lama mengetem. Kira-kira sudah ada 7 orang di dalam. Empat di baris bangku panjang, tiga di baris bangku pendek. Belum EMPAT-ENAM plus DUA. Saya sendiri duduk di depan.

Baru sebentar duduk, seorang bapak marah-marah, “MAU JALAN NGGAK SIH, BANG!”. Ia buru-buru keluar dari angkot. Seorang ibu juga mengikutinya. “Iya, iya, ini mau jalan!”, Abang Angkot yang entah namanya siapa segera menyetop mereka. Ibu dan Bapak tadi mundur, kembali duduk.

Abang Angkot mulai menancapkan gas dalam. Seakan-akan jalan. Tapi, kenyataannya tidak. Ia lepas lagi. Terdengar ia mengumpat, “Pada nggak sabaran banget, sih!” Kemudian ia melihat kaca spion sambil berteriak-teriak. Mencari tambahan sewa.

___

Tiba-tiba mereka sudah di angkot. Duduk bersebelahan. Di antara orang-orang lain yang menjadi figuran. “Ini hari pertama aku duduk denganmu”, Dilan membuka percakapan. Hening. Mata Dilan menatap entah apa, lalu merayu,

“Milea … kamu cantik.”

Milea, gadis yang sama-sama berseragam putih abu-abu itu tidak menggubris. Tetap asyik membaca buku. Tapi kemudian mulai terganggu, karena Dilan mulai menggombal lagi, “Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tau kalau sore. Tunggu aja.”

Mata Milea berputar, lalu mulai bermonolog. Kesal.

Atau sebenarnya rindu.

___

suasana pagi angkot jurusan senen-kota di stasiun sawah besar

Seorang ibu turun dari angkot. Bayar, lalu sewot setelah uang receh yang dikembalikan Pak Sopir berjatuhan ke jalanan.

Kasar sekali makiannya, “BEGO LU!!!”

Pak Sopir bergeming. Entah dari mana ia mendapat kesabaran tingkat tinggi itu. Komentarnya hanya, “takut miskin kali, Pak” kepada saya yang duduk tepat di belakangnya.

Sebenarnya Ibu tadi telah membuat dia kesal. Ia hanya membayar Rp3 ribu. Kurang seribu. Ibu itu tak mau kalah, “kan cuma sampai sini.”

Dia juga punya argumen yang sulit ditolak: kalau hanya mau bayar segitu, naiknya dari pinggir jalan. Jangan naik yang ngetem dari dalam stasiun.

Saya coba berempati kepada Pak Sopir. Semenjak keluar dari stasiun dia telah mengeluarkan uang receh begitu banyak.

Sekali untuk calo, sekali untuk kencleng perbaikan jalan, sekali untuk karcis entah apa, dan sekali untuk semprotan pengharum mobil yang disemprotkan remaja tanggung di lampu merah.

Saya melihatnya memberi tanpa ada keluhan. Bahkan kadang bertegur-sapa dengan salah satu dari mereka.

Pak Sopir ini memang ajaib. Akhlaknya.

___

Ia belum bisa menegurnya, karena anak SMA itu terdengar asyik sekali membaca buku yang ia pegang.

Terdengar samar, “Idza waqoatil waqiah …”. Setelah sebelumnya taawuz dan basmallah.

Anak SMA itu ternyata tengah tilawah. Membaca ayat-ayat dari Al Qur’an. Sepanjang perjalanan.

Setelah anak itu selesai, ia baru bisa bilang, “Terima kasih ya, dek. Bikin adem. Semoga jadi orang sukses. Bapak juga mau anak-anak bapak nantinya seperti kamu.”

*catatan, gambar mungkin tidak berhubungan langsung dengan cerita

salam,

diki septerian

Tinggalkan Balasan