Dua minggu yang lalu saya membeli Kamera DSLR bekas. Tiga hari setelahnya, baru saya sadari ada yang tidak beres …
Lensa Pancake Canon 24mm butuh teman. Lensa yang belum habis masa bulan madunya itu tidak tega saya lepaskan. Temannya, jelas tidak harus Canon 70D yang saya impikan itu. Saya perlu sesuatu yang murah, yang harganya tidak lebih dari 4 juta.
Kamera DSRL Canon baru tidak ada yang harga segitu. Canon EOS 1200D-1300D lebih dari 4 juta. Bahkan generasi terbarunya, EOS 1500D, sekarang di angka 6 jutaan. Apalagi 800D yang harganya mendekati Rp 10 juta.
Mungkin 600D, yang harga pasarannya: 3,5-4,5 juta rupiah. Saya pegang harga pasar itu. Lalu saya hunting. Berburu ke Pasar Baru. Tempat para penjual kamera bekas berkumpul.
Setelah keliling, saya menemukan kenyataan pahit: EOS 600D masih jadi primadona. Harga bukaannya rata-rata Rp 4,3 juta.
Akhirnya saya mengalah: menaikan anggaran ke 5 juta, untuk mengincar Sang Kakak, Canon 60D.

Memulai pencarian
Berburu kamera second jelas harus berbekal pengetahuan. Soal harga juga kondisi barang. Saya berselancar sana-sini hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti, lalu bersiap mencari. Menghadapi langsung para pedagang yang tentu lebih berpengalaman.
Karena itu, saya pasang wajah polos. Menjadi Newbie dihadapan mereka. Saya ajukan pertanyaan-pertanyaan dasar yang sebenarnya saya sudah tahu jawabannya. Misal, “Shutter Count penting ya, mas?”
Pedagang pertama menjawab sekenanya. Beberapa pertanyaan lanjutan pun dijawab asal-asalan, hingga akhirnya saya menemukan satu permasalahan pada kamera yang sedang saya coba: Error 20 (atau berapa gitu ya di Canon 600D).
Jawaban yang saya dapat tidak memuaskan. Katanya, ini karena memorinya. Memori yang saya masukkan bikin eror katanya. Kacau, kan.
Karena kurang memuaskan, saya tinggal. Saya pamitan. Penjual yang seperti ini terlalu lihai, bisa-bisa kalau saya beli di sana malah susah ke depannya. Begitu kesimpulan saya.
Saya keliling lagi. Ada yang ketika saya tanya, “wah baru aja ada yang beli tuh, saya lepas 4,4 juta.” Ketika saya tanya ada 600D atau tidak.
Kemudian jalan sebentar, lalu berhenti. Melihat ada Canon 60D terpampang di etalase. Pedagang kali ini lain, sebelum saya tanya Shutter Count, dia sudah mengabari, “ini SC-nya kira-kira 15 ribuan” sambil menyodorkan kamera itu ke saya.
Akhirnya saya duduk lalu melakukan evaluasi.
Hal-hal yang perlu di cek
Pertama, kondisi fisik. Shutter Count memang penting, dia ibarat jarak tempuh dalam kendaraan. Semakin banyak SC-nya, berarti semakin sering digunakan, dan kemungkinan “turun mesin”-nya lebih tinggi. Tapi, kondisi fisik juga jangan di abaikan.
Misal dapat kamera dengan SC rendah (di bawah 10.000), tapi bodinya gompal-gompal, jorok, karet pada melar, tutup pada copot. Mending mana sama yang SC-nya di atas 10.000, tapi masih mulus? Ya bodi dong. Tapi jangan buru-buru, cek ricek lagi.
Kedua, cek kebeningan viewfinder/ kekeran (ada jamur), LCD (vignet, baret), dan sensor. Untuk DSLR, cara cek sensor bisa dengan mode Bulb. Lepas lensa, lalu tekan shutter, maka akan terbukalah tabir sensor yang ditutupi oleh kaca. Cek saja, bersih atau tidak. Ada juga cara yang lain, yaitu foto objek yang putih, terus cek ada bintik-bintik apa tidak di hasilnya. Bila ada, sensor itu mungkin berdebu, atau malah berjamur.

Ketiga, Pastikan tombol-tombol semua berfungsi. Cek saja semua, sampai ke Flash-nya. Rasakan juga, apakah tombol dan kenop masih enak, membal, clicky, atau tidak. Khusus untuk tombol shutter, jangan lupa di tahan setengah terus tekan full ya. Soalnya, ada kamera yang saya temukan sudah tidak lagi ngeklik ketika ditahan setengah.
Keempat, cek mesin. Atau mainboard. Ini yang tidak bisa kita minta untuk bongkar. Cuma, ada beberapa cara untuk memastikan mainboard ini masih bagus atau tidak. Coba masukkan memori card. Lalu foto sana sini, coba juga dengan mode bursting atau high speed. Lihat ada yang eror atau tidak. Kemudian coba merekam video. Yang lama. Kalau bisa lebih dari 15 menit. Selama perekaman, ada kendala tidak? Tiba-tiba mati, eror, panas berlebihan?

Kelima, baterai. Ini yang luput dari amatan saya. Saat mencoba Canon 60D, saya hanya bermain dengan high speed shooting saja. Bursting terus-terusan, anehnya baterai itu mampu bertahan. Tapi setelah saya bawa pulang, kemudian cek menggunakan liveView. Mati. Saya cas, sebentar saja kok penuh. Akhirnya saya kembali ke sana setelah 3 hari. Beruntung, tempat saya membeli memberi ganti yang baru (meski bukan baru, sih).
Awalnya saya pikir, ah baterai wajarlah kalau sudah soak. Memang harus punya cadangan. Cuma, ternyata harga yang ori-nya mihil kang! Untuk LP-E6 lebih dari satu juta!

Keenam, aksesoris. Tanyakan juga kelengkapan kamera itu, seperti Box, Charger, Strap, tas kalau ada.

Akhirnya,
Membeli kamera bekas memang tidak sepuas membeli kamera baru, yang kalau ada apa-apa tinggal klaim garansi. Lain sekali dengan pengalaman membeli kamera bekas. Pengalaman pertama pula. Deg-degan iya, harap-harap cemas iya. Cuma, ternyata lama-lama bikin ketagihan. Bisa-bisa, akhirnya saya bisnis jual-beli kamera bekas juga.
hehe
Kalau buat awam kayaknya lebih aman beli baru ya…..
Betul Kang,
Kalo ada apa2 tinggal klaim garansi. Masalahnya, kalo budget cuma segitu-gitunya, terus mau-nya kamera yang level di atasnya.
Hehe
Akhir yang membagongkan ?