Sekolah Bingung

Kaaang… bingung nggak sih milih sekolah buat anak.

Akhir Desember gini sekolah-sekolah swasta sudah membuka diri.
Saya bersama istri sudah coba keliling-keliling Depok. Sekadar nengok SD-SD yang jadi incaran.

Hasilnya positif. Positif mahalnya.

Mau ke SDIT Rahmaniyah yang di Pondok Sukmajaya kayak anaknya temen di kantor? uang masuknya Rp 20 juta.

Mau ke SDIF AL FIKRI yang di Raden Saleh? Malah lebih gigit dompet: Rp 35 juta.

Ke Binakheir yang nggak jauh dari Al Fikri? Rp 20 juta.

Terus, ke arah tengah, Al-Qalam yang di jalan Pemuda? Rp 20 juta.

Bina Insan Kamil yang di jalan KSU? 10 juta.

Mau ke Utara, ada Kuttab Al Fatih, 8 jutaan.

Atau ke Barat, Sekolah Alam Indonesia? 8 jutaan juga.

Akan lebih mahal kalau kita hitung juga uang pendaftarannya, bulanannya, kegiatannya, ongkosnya …

Lemes nggak sih, kang?

Tolong koreksi bila saya salah. Dan saya berharap saya salah.

Ada juga sih, MI. Alias Madrasah Ibtidaiyah. Idenya dari Istri, yang memang lulusan sana.

Saya sih oke aja, tapi nyatanya?

Ada MI Plus Al Muhajirin di jalan menuju kantor kelurahan Mekarjaya. Uang masuknya? 8 juta juga.

Emang sih Aa kalau ke sana dapat diskon, karena menang lomba. Ditambah kalau daftar gelombang pertama (Desember ini), juga dapet diskon lagi.

Ada juga SD Tugu Ibu. Yang lulusannya bikin saya minder waktu di SMP dulu.
Uang masuknya? 8 jutaan juga.

Intinya sih sekolah bingung. Eh uang. Eh mahal. Eh wajar.
Iya nggak sih? Haha.

Sampai sekarang belum ada keputusan bulat. Si Aa nanti bakal masuk ke mana.

Ke SD Negeri juga oke-oke aja, sebenarnya.

SDN 10 di jalan Majapahit, itu lagi top-top-nya. SDN 29 di jalan Gambang sana juga jadi percontohan.

SDN 7 yang di jalan Pajajaran? SD yang telah mengantarkan kakak, adik, dan saya sendiri ke jenjang berikutnya. Juga tetap jadi pilihan.

Bagaimana dengan sekolah di rumah? Home schooling gitu?

Sempat terbesit. Di sini juga ada pelakunya. Jadi bisa intens bertanya-tanya.

Buat saya sih sebenarnya ini: yang cocok buat anak dan terjangkau.
Karena sekolah terbaik belum tentu cocok.

Sementara ini, saya berkesimpulan si Aa itu gaya belajarnya kinestetik. Harus aktif. Agar pelajaran terserap dengan baik.

Artinya Sekolah Alam, dong?

Mungkin. Tapi, masa iya guru-guru sekarang nggak bisa mengakomodir gaya belajar masing-masing muridnya?

Sama ini: buat saya pendidikan juga kudu bikin anak mandiri. Bikin anak seneng cari tau sendiri.

Yang menohok adalah ini: kenapa selesai sekolah kok jarang yang seneng baca. Padahal kalo anak udah seneng baca, maka kelar urusan kan.

Kalau urusan ke sekolah mahal, bonus sebenarnya. Bonus koneksi. Buat orang tua, ataupun anak nantinya saat udah pada gede.

Urusan output tetap misteri. Yang harusnya, kian lama kian terselami. Sambil merajut berdua, anyaman benang angan yang kau tawarkan.

Eh, kok malah nyanyi sih.

Maaf kang, sudah “jam bego” nih. Otak jadi rada konslet.

Silakan yang mau berbagi ke-konsletan-nya juga?

Hehe …

____

*13.12. Sore di kereta, lanjut di stasiun sambil menunggu hujan reda, lanjut tengah malam saat yang lain tidur.

Tinggalkan Balasan