Saya belum pernah mengabarkan ini: di Depok ada tempat wisata yang murah dan lengkap. Objek wisata “jadi-jadian” itu hanya ada setiap hari Minggu. Di jalan Merdeka Raya, Sukmajaya. Di sana semua ada. Coba ajak keluarga. Dijamin mamahnya senang dan anak-anak bahagia. (Paling-paling hanya isi dompet yang merana ^_^).
Akhir tahun kemarin, saya tidak ditemani mamah ceria dan bocils. Saya hanya jalan berdua ke sana. Bersama gebetan baru: Canon EOS 6D dan Lensa kit 24-105mm f/4 L IS USM.
Kamera DSLR Full Frame
Canon EOS 6D adalah kamera DSLR dengan sensor Full Frame. Sensor dengan ukuran yang sama dengan film 35mm pada kamera analog. Sensor itu lebih besar dari milik Canon EOS 7D mark II. Dan EOS 60D. Dan kebanyakan EOS lainnya … (kecuali seri EOS 5D, 1D, dan yang terbaru EOS R).
Boleh dibilang, kamera Full Frame adalah gear standar bagi para fotografer profesional. Kualitas gambar (Image Quality) menjadi alasannya. Canon EOS 6D boleh ketinggalan teknologi, tapi tidak dengan ukuran sensor tadi. Semakin besar ukuran suatu sensor, semakin banyak cahaya yang dapat ia tangkap. Artinya, semakin baik gambar yang dihasilkan di tempat yang minim cahaya.
Dan fotografi, adalah seni menangkap cahaya, bukan?
Rasanya …
Pas. Canon EOS 6D mengingatkan saya pada mantan (60D). Ukurannya mirip, tata letak tombolnya mirip, pegangannya juga mirip. Dan ini yang membuat saya jatuh hati: bobotnya kok juga ikutan mirip ya. Padahal ini kan kamera Full Frame!
Di tambah lagi, jendela bidiknya itu … LUAS SEKALI. Ngeker jadi nyaman. Meski ternyata view finder tersebut tidak menampilkan 100% apa yang terlihat. Sebatas 97%. Apakah masalah? Enggak terlalu sih …
Titik fokusnya juga bertambah dari 9 milik 60D menjadi 11. Sayangnya hanya 1 titik yang bertipe silang (di tengah). Hal ini mempengaruhi kecepatan untuk mengambil objek yang bergerak. Hanya terasa lambat kalau mode fokusnya dibuat otomatis memilih, sih.
Selebihnya cepat, khas DLSR. Lagipula, kebiasaan saya hanya menggunakan 1 titik fokus. Jadi spesifikasi jadul itu tidak mengganggu.
Satu lagi yang saya suka: tuas dan tombol tersendiri untuk merekam video. Tidak perlu repot memutar kenop utama hingga bertemu gambar video seperti pada Canon EOS 60D.
Bila diminta menyimpulkan: Canon EOS 6D adalah jalan upgrade sempurna bagi pemilik Canon EOS 60D.
Hasil Jepretannya …
Canon EOS 6D saya kalungkan di leher. Bersama Lensa EF 24-105mm f/4 L IS USM. Gabungan itu membuat saya seksi sekali. Setiap lapak langganan bertanya-tanya, “saya mau dimasukin ke koran apa?”
Harganya …
Canon EOS 6D telah resmi digantikan oleh Canon EOS 6D Mark II. Jadi harga kamera DSLR itu sudah banyak berkurang dari sebelumnya. Saya menemukan di rentang harga Rp12-14 juta, bekas. Tanpa lensa, atau bodi only.
Dengan harga itu, pilihan kamera baru ada di Canon EOS 80D. Atau EOS M5 untuk mirrorless. Kedua kamera itu mumpuni dan canggih, cuma …
Sensor mereka APS-C. Tetap bukan kelas 6D. Saingan sebenarnya dari 6D adalah Canon EOS 5D Mark II. Yang harganya kini sudah 8 jutaan, bahkan mungkin kurang.
Sama-sama Full Frame, sama-sama Canon. Yang membedakan (dan jadi perhatian) saya adalah selot kartu memorinya. EOS 5D mark II hanya memiliki 1 selot CF Card. Artinya, SD Card yang saya miliki tidak berguna. Card reader saya yang canggih juga tidak berguna.
Dan saya, malas sekali keluar uang untuk sekadar membeli CF Card tadi …
Kurang dan lebihnya …
Canon EOS 6D kualitas gambarnya sangat baik. Meski rentang dinamis (dynamic range) tidak seluas pada Canon EOS 7D mark II. Keluaran warnanya sangat enak dipandang mata. Dan saat minim cahaya, kamera full frame itu tidak mengecewakan.
Untuk urusan koneksi nirkabel juga tidak masalah. Unit yang saya pegang dilengkapi dengan Wi-Fi dan GPS (untuk Geotagging). Jadi aplikasi Canon Camera Connect dapat digunakan untuk transfer file langsung ke handphone.
Untuk kekurangannya, yang paling saya rasakan adalah mounting lensa EF. Si kecil mungil EF-S 24mm jadi tidak bisa digunakan. Huhu …
Tapi untungnya pilihan lensa EF dari Canon melimpah ruah. Target lensa berikutnya sudah pasti EF 50mm f/1.8 STM, yang bila dipasangkan akan menjadikan jarak pandang “normal” seperti mata memandang.
Buat video? Saya belum coba, tapi fitur untuk menyimpan file dengan kompresi ALL-I menjadi pilihan menarik, walau resolusi tertinggi yang diberikan “hanya” sebatas Full HD.
___
Ah baiklah, saya pamit dulu. Terima kasih sudah menemani saya jalan-jalan di Depok, kang!
Salam,
diki septerian